Disajikan saat Tradisi Rebo Wekasan di Cirebon, Begini Sejarah Apem

TRIBUNTRAVEL.COM - Kuliner tradisional apem tentu bisa ditemui traveler di pasar-pasar tradisional.

Kuliner yang satu ini tak hanya lezat namun sarat akan nilai sejarah.

Apem juga disajikan saat acara kebudayaan leluhur di berbagai tempat di Indonesia.

Apem menjadi kuliner tradisional yang disajikan dalam rangkaian tradisi rebo wekasan di Situs Makam Pangeran Pasarean, Kelurahan Gegunung, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon.

Dalam kesempatan itu, apem tampak dibagikan kepada masyarakat setelah seluruh rangkaian Rebo Wekasan dilaksanakan.

Baca juga: Empal Gentong Krucuk dan 6 Kuliner Malam di Cirebon yang Wajib Dicicipi

Bahkan, sejumlah warga juga tampak menikmati apem bersama yang disajikan dengan gula merah cair di atas piring.

Filolog Cirebon, Raffan S Hasyim, mengatakan, apem bisa disebut sebagai kuliner tradisional khas bulan Safar.

Menurut dia, selama bulan Safar hampir setiap rumah di Cirebon membuat apem dan membagikannya kepada tetangganya.

"Tujuannya sedekah, untuk menolak bala atau musibah," ujar Raffan S Hasyim.

Ia mengatakan, apem di Cirebon mempunyai bentuk khas, yakni kotak dan bulat.

Apem berbentuk kotak melambangkan badan, sedangkan apem bulat melambangkan bentuk kepala.

Bentuk apem itupun ada kaitannya dengan peristiwa Perang Karbala yang membuat cucu Nabi Muhammad Saw, Husain bin Ali, meninggal dunia.

Raffan menyampaikan, dalam naskah yang ditulis Jafar Assegaf, tradisi ngapem Cirebon digelar untuk memperingati wafatnya seluruh pasukan Husain bin Ali.

Dalam perang melawan pasukan militer Bani Umayyah tersebut, Husain bin Ali dibunuh dengan cara dimutilasi.

"Bentuk apem di Cirebon melambangkan wafatnya cucu Nabi, dan tujuannya menolak bala berawal dari peristiwa Karbala," kata Raffan S Hasyim.

Sementara Kuncen Situs Makam Pangeran Pasarean, R Hasan Ashari, mengatakan, terdapat makna tersendiri dalam penyajian apem dalam tradisi Rebo Wekasan.

Menurut dia, salah satu cara agar masyarakat selalu diberi keselamatan ialah menjaga manisnya perkataan dan selalu menyampaikan hal yang baik-baik.

Karenanya, perkataan baik itu harus diawali dengan menyantap makan manis seperti apem yang dicocol gula merah.

"Filosofi apem ini kita harus mengatakan yang manis-manis dan jangan menyinggung orang lain supaya selalu selamat," ujar R Hasan Ashari.

Apem sendiri dibuat dari tepung beras yang dicampur air hangat dan tape singkong, kemudian diaduk hingga rata.

Biasanya apem dibuat pada sore hari dan didiamkan semalaman, agar tekstur apem menjadi lebih lembut dan mengembang.

Setelah didiamkan, pagi harinya adonan akan dicetak, dan apem bisa digarang maupun dikukus.

Tape singkong sendiri memberikan rasa asam pada apem. Namun, tidak terlalu asam, sehingga terasa lembut.

Apem disajikan bersama gula merah cair. Untuk menyantapnya pun apem harus dicocol ke gula merah agar rasanya semakin nikmat.

Sejarah Rebo Wekasan

Tradisi rebo wekasan digelar di Situs Makam Pangeran Pasarean, Kelurahan Gegunung, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, Rabu (14/10/2020).

Kuncen Situs Makam Pangeran Pasarean, R Hasan Ashari, mengatakan, tradisi tersebut berlangsung sejak ratusan tahun lalu.

Menurut dia, rebo wekasan digelar pada Rabu terakhir bulan Safar dalam penanggalan Hijriyah.

"Tradisi ini ada sejak era Wali Sanga, dan memang tidak lepas dari pengaruh ajaran Islam," kata R Hasan Ashari saat ditemui seusai kegiatan.

Ia mengatakan, seluruh rangkaian tradisi rebo wekasan juga mempunyai makna dan sejarah tersendiri.

Misalnya, Tawurji atau membagikan uang koin kepada masyarakat yang disebut warga Cirebon sebagai surak.

Tawurji sendiri berasal dari dua suku kata. Yakni tawur yang berarti melempar uang, dan aji artinya tuan haji atau orang yang mampu.

"Tawurji ini bermula dari upaya perlindungan terhadap murid Syekh Lemah Abang yang dianggap sesat," ujar R Hasan Ashari.

Kala itu, Sunan Gunung Jati memutuskan melindungi mereka dan memberikan uang untuk bekal bertahan hidup.

Peristiwa itu bertepatan doa bersama yang digelar di Bangsal Paseban Keraton Kanoman pada Rabu terakhir di bulan Safar.

Kini, tawurji dianggap sebagai sedekah agar terhindar dari malapetaka yang turun selama bulan Safar.

Pasalnya, Allah Swt menurunkan 320 ribu malapetaka ke bumi pada bulan Safar.

Karenanya, doa-doa pun dipanjatkan saat tawurji berlangsung. Bahkan, sebelumnya salat hajat berjemaah juga dilaksanakan.

Usai tawurji, warga pun ngirab atau mandi bersama di Sungai Cipager yang berada persis di belakang Situs Makam Pangeran Pasarean.

"Isim Kala Caka disimpan di aliran sungai sebelum digunakan mandi oleh masyarakat," kata R Hasan Ashari.

Hasan menyampaikan, Isim Kala Caka merupakan janur kelapa yang dipercaya sebagai jimat pusaka penangkal jin.

Selain itu, Isim Kala Caka juga dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit.

Tradisi mandi di sungai itu dimulai sejak masa Sunan Kalijaga sering berkhalwat di wilayah Cirebon.

Saat itu, Cirebon dilanda pagebluk atau wabah penyakit, sehingga Sunan Kalijaga menyimpan Isim Kala Caka di Sungai Drajat, Kota Cirebon.

Sunan Kalijaga pun meminta warga yang terjangkit pagebluk untuk mandi di Sungai Drajat.

Mereka pun secara ajaib sembuh dari penyakit yang menjangkitinya setelah mandi di sungai yang diberi Isim Kala Caka tersebut.

Menurut Hasan, Isim Kala Caka merupakan janur yang diberi tulisan huruf arab, Jaa (datang) dan Nuur (cahaya).

"Maksudnya melalui Isim Kala Caka itu menjadi media tawasul datangnya cahaya atau rahmat Allah Swt," ujar R Hasan Ashari.

Di Situs Makam Pangeran Pasarean sendiri kegiatan ngirab atau mandi bersama dimulai sejak enam tahun lalu.

Namun, mandi bersama itu tidak dilaksanakan di Sungai Drajat, tetapi di Sungai Cipager yang berada di belakang situs.

Dalam tradisi rebo wekasan di Situs Makam Pangeran Pasarean, warga yang mandi bersama juga langsung doa bersama setelahnya.

Doa bersama itu tentunya dipanjatkan untuk menolak bala dan malapetaka yang turun di bulan Safar.

Setelah seluruh rangkaian tradisi rebo wekasan dilaksanakan, para pengurus tampak membagikan makanan khas Cirebon, apem.

Sejumlah tamu undangan juga terlihat duduk santai sambil menyantap apem yang dibuat pengurus situs.

Hasan menyampaikan, apem sendiri mengandung filosofis agar ucapan dan tingkah laku sehari-hari selalu manis sesuai rasa gula merah cair yang disantap bersama apem.

"Inti dari tradisi ini adalah meningkatkan silaturahmi, mengharap keberkahan dunia dan akhirat, serta menjaga warisan budaya," kata R Hasan Ashari.(Tribuncirebon.com/Ahmad Imam Baehaqi)

Baca juga:Nasi Megono dan 4 Kuliner Malam di Pekalongan yang Patut Dicoba

Baca juga:Nasi Teri Gejayan Pak Dul dan 4 Kuliner Malam di Jogja yang Menarik untuk Dicicipi

Baca juga:5 Kuliner Malam di Surabaya, Ada Nasi Cumi Pasar Atom dan Sego Sambel Mak Yeye yang Populer

Baca juga:Mie Celor 26, Martabak HAR, dan 4 Kuliner Malam di Palembang yang Wajib Dicicipi

Baca juga:5 Kuliner Malam di Semarang, Cicipi Lezatnya Nasi Gudeg dan Sego Koyor Mbak Tum

Artikel ini telah tayang di Tribuncirebon.com dengan judul Sejarah Apem, Makanan Khas Saat Tradisi Rebo Wekasan di Situs Makam Pangeran Pasarean Cirebon

Temukan solusi untuk kebutuhan transportasi, pengiriman barang, layanan pesan antar makanan, dan yang lainnya di sini.

SHARE : share facebook share twitter share linkedin