Alasan Disiplin dan Tepat Waktu jadi Budaya di Jepang dan Masyarakat Tertib Mematuhinya
TRIBUNTRAVEL.COM - Masyarakat Jepang tidak hanya dikenal pekerja keras, tetapi juga disiplin dan tepat waktu.
Bagi mereka, terlambatadalah sebuah masalah besar.
Bahkan, disiplin dan tepat waktu sudah menjadi budaya bagi warga negara Jepang.
Lalu, kenapa orang Jepang sangat disiplin dan tepat waktu?
Pihak oposisi melakukan protes selama lima jam sebagai tanggapan atas keterlambatan Sakurada, sementara masyarakatJepang merasa kecewa dan marah.
Beberapa hari kemudian, dia dipaksa untuk meminta maaf di hadapan publik.
Di Jepang, tepat waktu bukan hanya berlaku bagi tokoh publik atau orang terkenal saja.
Tetapi juga operator bisnis, transportasi, lembaga, hingga fungsi lain terkait pekerjaan.
Pada tahun 2018 misalnya, sebuah kereta api JR-West datang 25 detik lebih awal dari jadwal dan memicu banyak kritik publik hingga perusahaan harus melakukan permintaan maaf.
Bahkan, keterlambatan ini menjadi berita nasional di Jepang.
Insiden ini diliput secara luas oleh media di Jepang dan dianggap sebagai kesalahan besar atas nama JR-West Railway.
Rupanya, orang Jepang sudah diajarkan pentingnya tepat waktu sejak usia dini.
"Orang tuaku selalu mengatakan, sangat penting untuk tidak terlambat, penting untuk memikirkan orang-orang yang akan merasa tidak nyaman jika kita terlambat, bahkan jika aku terlambat sedikit saja. Itu sudah tertanam di kepalaku," kata Issei Izawa, seorang mahasiswa berusia 19 tahun.
Kanako Hosomura, seorang ibu rumah tangga berusia 35 tahun yang tinggal di prefektur Saitama pun mengatakan dia benci terlambat, meski hanya satu menit.
"Saya lebih suka datang lebih awal jika memiliki janji, karena lebih baik bagi saya untuk menunggu daripada membuat seseorang menunggu saya," katanya.
Kanako menambahkan, dia tidak akan berteman dengan seseoranghobi ngaretdan membuat orang lain tidak nyaman.
Meski demikian,budaya ketepatan waktu ini bisa membuat stres bagi sebagian orang.
"Pacar saya bekerja di call center untuk JR Railways. Minggu lalu, dia kembali bekerja setelah istirahat (makan siang) dan pengawas mengatakan 'kamu terlambat 10 detik'," kata seorang pria yang meminta tidak disebutkan namanya.
Ia menambahkan ekannya itu akhirnya diberi peringatan atas keterlambatannya.
"Sangat ekstrim," katanya.
Obsesi Jepang untuk selalu tepat waktu sering dipandang sebagai hal unik oleh wisatawan.
Kebiasaan tepat waktu di Jepang sudah menjadi cirikhas negara yang dikenal disiplin ini.
Namun, sebenarnya keterlambatan di tempat kerja memiliki dampak nyata pada perekonomian.
Menurut laporan Heathrow Express 2017, di Inggris, para pekerja yang datang terlambat merugikan perekonomian hingga 9 miliar poundsterling atau Rp 170,6 triliun setahun.
Lebih dari separuh orang yang disurvei dalam laporan itu mengatakan, mereka datang terlambat ke tempat kerja dan rapat secara teratur.
Di Amerika Serikat, keterlambatan juga memberikan dampak buruk bagi perekonomian.
Di negara bagian New York, pekerja yang terlambat menghabiskan biaya USD 700 juta atau sekitar Rp 10 triliun setahun.
Di California, para pekerja yang datang terlambat membutuhkan biaya lebih dari USD 1 miliar atau sekitar Rp 14 trilian setiap tahunnya, menurut sebuah laporan tahun 2018 oleh majalah Inc.
Tapi Jepang tidak selalu ngotot untuk tepat waktu.
Hingga akhir tahun 1800-an, era Jepang pra-industri memiliki sikap yang jauh lebih santai.
Willem Huyssen van Kattendijke, seorang perwira angkatan laut Belanda yang datang ke negara itu pada tahun 1850-an, menulis dalam buku hariannya bahwa penduduk setempat tidak pernah tepat waktu.
"Kemalasan orang Jepang cukup mencengangkan," katanya.
Pada saat itu, kereta sering terlambat hingga 20 menit dari jadwal.
Selama Restorasi Meiji (1868-1912), di mana Kaisar Meiji menghapuskan sistem feodal dan melaksanakan reformasi militer dan industrialisasi, ketepatan waktu menjadi norma budaya.
Semua itu diungkapkan dalam sebuah makalah tahun 2008 dalam jurnal Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Masyarakat Asia Timur yang diterbitkan oleh Universitas Duke.
Norma ini dipandang sebagai prinsip utama untuk kemajuan negara dari agraris ke masyarakat modern yang terindustrialisasi.
Sekolah, pabrik, dan kereta api memberlakukan ketepatan waktu secara ketat.
Mereka adalah lembaga utama yang mempelopori perubahan sosial ini.
Pabrik mengadopsi Taylorism, sistem manajemen pabrik yang menghemat efisiensi dan produktivitas tenaga kerja dengan menciptakan jalur perakitan dan ban berjalan.
Pada masa itu, jam tangan menjadi barang populer, dan konsep sehari 24 jam menjadi akrab bagi warga.
Menurut peneliti produktifitas berdasarkan waktu, Ichiro Oda, pada saat itulah orang Jepang menyadari "waktu adalah uang".
Pada 1920-an, ketepatan waktu diabadikan dalam propaganda negara.
Berbagai poster soal ketepatan dan cara penghematan waktu disebar di seluruh negeri.
Termasukcara menata rambut dalam lima menit bagi wanita jika tak ada acara khusus.
Sejak saat itu, ketepatan waktu dikaitkan dengan produktivitas di perusahaan dan organisasi, kata Makoto Watanabe, associate professor komunikasi dan media di Hokkaido Bunkyo University.
"Jika karyawan terlambat, perusahaan akan rugi," katanya.
"Secara pribadi, jika aku tidak tepat waktu, aku tidak bisa menyelesaikan tugas yang harus aku kerjakan."
Penting bagi karyawan untuk menampilkan diri mereka sebagai orang yang disiplin dan tepat waktu, kata Mieko Nakabayashi, seorang profesor ilmu sosial di Universitas Waseda dan mantan anggota parlemen di Partai Demokrat Jepang.
"Jika karyawan tidak bisa melakukan itu, maka mereka dengan cepat mendapatkan reputasi yang buruk di perusahaan," katanya.
Tetapi, seperti yang dia jelaskan, ketepatan waktu tidak selalu sama dengan efisiensi.
Pada tahun 1990, ada sebuah kasus di prefektur Hyogo ketika seorang siswa berusia 15 tahun tewas tergencet gerbang sekolah.
Dia tewas saat mencoba untuk melewati gerbang tepat ketika guru mulai menutupnya pada pukul 8.30 pagi.
Guru yang menekan tombol untuk menutup gerbang itu dipecat, dan insiden itu memicu perdebatan publik pada saat itu.
"Pada hari itu, sangat umum untuk menutup gerbang tepat waktu, dan menghukum siswa terlambat dengan membuat mereka berlari satu atau dua putaran," kata Yukio Kodata, 33, seorang pria Jepang-Kanada yang telah tinggal dan bekerja di Jepang.
Nantinya catatan akhir pada transkrip siswa dapat memengaruhi peluang mereka untuk masuk universitas.
Pada akhirnya, obsesi pada ketepatan waktu bisa mempengaruhi kualitas hidup, kata Yukio.
"Di Jepang, orang memiliki mentalitas, jika semua orang melakukannya, mereka juga harus melakukannya," katanya.
Baca juga: Gunung Ile Lewotolok di NTT Meletus, Kolom Abu Capai 4.000 Meter
Baca juga: 4 Camilan Unik yang Cuma Ada di Jepang, Cobain Sensasi Cola Rasa Sup Ikan
Baca juga: Ramen Instan dengan 40 Miliar Bakteri Asam Laktat Dijual di Jepang, Intip Keunikannya
Baca juga: 8 Restoran Milik Artis yang Tawarkan Menu Khas Indonesia, Jepang, Thailand hingga Western
TribunTravel.com/rizkytyas