Mengenal Tradisi Dugderan di Semarang, Ritual Jelang Ramadan dengan Maskot 'Warak Ngendok'
TRIBUNTRAVEL.COM - Mengenal awal mula tradisi dugderan di Kota Semarang dalam menyambut bulan Ramadan.
Sudah menjadi rahasia umum bila Indonesia dihuni oleh beragam suku dan etnis.
Setiap kelompok dari suku-suku dan etnis-etnis tersebut memiliki keunikan dan caranya masing-masing dalam menghadapi momen penting.
Nah, bulan Ramadan jadi salah satu momen penting yang dirayakan oleh masyarakat Indonesia.
Sebab, penduduk negara ini didominasi oleh orang-orang yang memeluk agama Islam atau seorang Muslim.
Dalam menyambut bulan Ramadan, masyarakat Indonesia yang beragama Muslim memiliki perayaannya masing-masing.
Baca juga: Di Arab Saudi, Orang yang Bangunkan Sahur di bulan Ramadan Dibayar dan Jadi Pekerjaan, Seperti Apa?
Tak terkecuali masyarakat Kota Semarang di Jawa Tengah.
Semarang punya tradisi unik dalam menyambut bulan Ramadan, yakni tradisi dugderan.
Tak hanya dilakukan oleh umat Muslim, tradisi ini dihadiri juga oleh seluruh masyarakat Semarang yang tidak beragama Islam.
Dugderan telah menjadi pesta rakyat yang dilaksanakan tepat sehari sebelum puasa Ramadan.
Tradisi ini dilakukan dengan menabuh beduk untuk menentukan ketetapan jatuhnya tanggal 1 Ramadan.
Istilah dugderan diambil dari bunyi suara tabuhan beduk "dug" yang diiringi dengan suara meriam atau mercon "der".
Perpaduan bunyi suara inilah yang akhirnya menjadi awal mula penamaan tradisi ini.
TONTON JUGA:
Selain bertujuan untuk mengingatkan masyarakat bahwa bulan Ramadan telah datang, dugderan juga menjadi ajang untuk mempererat silaturahmi masyarakatnya.
Arak-arakan dengan membawa maskot "Warak Ngendok" ini telah menarik perhatian masyarakat untuk berkumpul dan menyaksikannya.
Awal mula tradisi dugderan sendiri berasal dari ide Bupati Kyai Raden Mas Tumenggung (KRMT) Purbaningrat.
Pada masa pemerintahannya, masyarakat Semarang terbagi menjadi beberapa kelompok.
Kelompok tersebut di antaranya adalah pecinan (warga etnis Cina), pakojan (warga etnis Arab), Kampung Melayu (warga perantauan luar Pulau Jawa), dan Kampung Jawa.
Pengelompokkan ini dipicu oleh hasutan persaingan yang tidak sehat oleh kolonial Belanda saat itu.
Tak hanya itu, di antara umat Islam sendiri sering terdapat perbedaan pendapat mengenai penetapan awal puasa dan hari-hari besar Islam lainnya.
Nah, tradisi dugderan menjadi salah satu upaya yang dilakukan oleh Bupati KRMT Purbaningrat untuk memadukan perbedaan tersebut.
Dengan dukungan ulama setempat, tradisi ini menjadi media pemersatu warga Kota Semarang untuk berbaur, bertegur sapa, dan saling menghormati satu sama lain tanpa memandang perbedaan mereka.
Prosesi tradisi dugderan terdiri dari 3 agenda, yakni pasar malam dugder, kirab budaya Warak Ngendok, dan prosesi ritual pengumuman awal bulan Ramadan.
Binatang rekaan bernama Warak Ngendok kemudian dibuat untuk memeriahkan tradisi ini dengan tujuan menarik perhatian masyarakat sekitar.
Mengutip laman resmi menpan.go.id, Warak Ngendok merupakan representasi dari keragaman etnis yang ada di Semarang.
Bentuk kepala hewan rekaan ini mewakilkan ciri khas kebudayaan China, tubuhnya yang berbentuk seperti unta mewakilkan etnis Arab, dan keempat kakinya yang dibuat menyerupai kambing mewakilkan etnis Jawa.
Di tengah pandemi, tradisi dugderan ini masih terus dilaksanakan, namun tanpa keramaian.
Pada tahun 2020 lalu, tradisi dugderan dilakukan secara sederhana di Masjid Kauman dengan melakukan pemukulan beduk oleh Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi.
Baca juga: 6 Camilan Khas Betawi Ini Cocok Jadi Menu Buka Puasa saat Ramadan, Mana Favoritmu?
Baca juga: Rekomendasi 7 Menu Sahur ala Anak Kos yang Praktis, Enak dan Mengenyangkan Selama Bulan Ramadan
Baca juga: Melihat Proses Malamang, Tradisi Membuat Kudapan Ketan Pakai Bambu di Sumatera Barat
Baca juga: 5 Negara Ini Punya Tradisi Unik Agar Dapat Keberuntungan di Tahun Baru, Tidak Keramas Demi Beruntung
Baca juga: 7 Tradisi Perayaan Tahun Baru di Seluruh Dunia, Siram Air ke Orang hingga Pakai Baju Putih