
Mengenal Megibung, Tradisi Unik Unik Masyarakat Bali Jelang Bulan Ramadan
TRIBUNTRAVEL.COM - Sejumlah daerah di Indonesia menyambut bulan Ramadan dengan beragam tradisi yang unik.
Masing-masing tradisi memiliki makna dan arti tersendiri bagi masyarakat setempat.
Umumnya, tradisi-tradisi tersebut berlangsung secara turun-temurun sejak pulihan tahun silam.
Satu di antara banyak tradisi yang masih eksis hingga kini adalah megibung.
Baca juga: Lestarikan Tradisi, Warga Bandungrejo Magelang Tetap Gelar Nyadran saat Pandemi
Tradisi unik tersebut berasal dari Kabupaten Karangasem, Bali.
Melansir laman Tribun Bali, megibung berasal dari kata 'gibung' yang berarti saling berbagi antara satu dengan yang lainnya.

Sesuai namanya, tradisi megibung dilakukan oleh banyak orang dengan cara makan bersama dan saling bercengkrama.
Megibung merupakan tradisi turun-temurun masyarakat Karangasem, Bali yang diperingati untuk menyambut bulan suci Ramadan.
Konon tradisi megibung ini diprakarsai pertama kali oleh Raja Karangasem yaitu I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem.
Raja Karangasem tersebut mulai memperkenalkan megibung sekira 1614 Caka atau tepatnya 1692 Masehi.
Tradisi megibung bermula dari Raja Karangasem yang menang dalam perang menaklukan kerajaan-kerajaan di Sasak, Lombok.
Pada saat itu, Raja Karangasem mengajak para prajuritnya untuk beristirahat dan makan bersama dengan posisi melingkar.
Tradisi makan inilah yang kemudian dikenal dengan istilah megibung hingga sekarang.
Dalam tradisi megibung terdapat sejumlah istilah yang identik dengan perayaannya.
Istilah tersebut di antaranya ada 'sele' artinya orang yang bergabung dan duduk bersama untuk menikmati tradisi megibung dalam satu kelompok.

Kedua, 'gibungan' yaitu segepok nasi dengan alas gelaran (dari daun pisang) yang ditaruh di atas dulang atau nampan.
Kemudian terakhir ada 'karangan' yang berarti lauk pauk yang bervariasi.
Merujuk pada istilah tersebut tradisi megibung memang dilakukan dengan cara makan dalam satu wadah.
Untuk melakukan tradisi ini tentu tidak sembarangan karena ada tata caranya tersendiri.
Mulanya seorang warga harus menyiapkan makanan di atas wadah (gibungan) kemudian barulah menaruh lauk pauk.
Lauk pauk dalam tradisi gibungan juga disajikan dalam berbagai pilihan.
Mulai dari lawar, kekomoh, urab (nyuh-nyuh) putih dan barak, padamare, urutan, marus, balah hingga sate.
Dalam menyusun lauk saat tradisi megibun juga terbilang unik karena memilki urutan tersendiri dan akan disusun oleh seorang 'sale'.
Penyusunan tersebut dimulai dari kekomoh dan urab yang disusun pertama kali, kemudian lawar, daging dan terakhir adalah balah.
Satu porsi nasi dan lauk yang sudah tersusun tersebut oleh masyarakat setempat disebut dengan istilah satu sela.
Satu sela yang dimaksud adalah satu kelumpok yang akan menikmati hidangan gibungan.
Dalam satu kelompok biasanya terdiri dari 5-8 orang dengan posisi duduk bersila dan melingkar.
Pada setiap kelompok ini nantinya akan dipimpin oleh seorang pepara yang bertugas untuk mengkordinir prosesi tradisi.
Sebelum melakukan tradisi megibung juga terdapat etika yang harus dipenuhi oleh semua masyarakat.
Di antaranya yaitu mencuci tangan sebelum makan dan tidak boleh menjatuhkan sisa makanan dari suapan saat sedang makan.
Kemudian, tidak boleh mengambil makanan yang ada di sebelah, dan apabila ada warga yang sudah kenyang maka tidak diperbolehkan meninggalkan tempat atau meninggalkan temannya.
Baca juga: Tradisi Ramadan Unik dari 5 Negara di Dunia, Ada Tembakan Meriam untuk Tandai Buka Puasa
Baca juga: Deretan Tradisi Unik April Mop di Berbagai Negara, Saling Kirim Surat Berantai hingga Lempar Tepung
Baca juga: Yuk Jalan-jalan Virtual Sembari Mengintip Tradisi Ramadan 4 Negara di Dunia!
Baca juga: Sejarah dan Asal-Usul Nagabuburit yang jadi Tradisi Masyarakat Indonesia Selama Bulan Ramadan
Baca juga: 10 Tradisi Unik dari Berbagai Daerah Indonesia yang Digelar saat Jelang Ramadan
(TribunTravel.com/Mym)
Baca selengkapnya soal Ramadan 2021 di sini.
