Mengenal Kisah Gerbong Maut, Tewaskan 46 Pejuang Kemerdekaan Akibat Dehidrasi dan Kelaparan
TRIBUNTRAVEL.COM - Pernah mendengar kisah tentang gerbong maut di Stasiun Bondowoso, Jawa Timur?
Masih dalam semangat Kemerdekaan, menarik rasanya untuk sedikit membahas kisah gerbong maut.
Kisah gerbong maut ini penting untuk diketahui agar kita tak lupa dengan jasa para pahlawan Kemerdekaan yang gugur.
Penasaran seperti apa kisahnya? Yuk simak informasi yang telah TribunTravel rangkum dari akun Instagram @kai121_ berikut ini.
Baca juga: Asyik! Kereta Panoramic Pertama di Indonesia Segera Hadir
Jadi, ada sejarah patriotik dan pengorbanan di Stasiun Bondowoso saat perjuangan mempertahankan Kemerdekaan pada tahun 1947 silam.
Kejadian itu terekam dalam sebuah gerbong, dengan puluhan pejuang Kemerdekaan gugur di dalamnya.
Gerbong tersebut akhirnya dikenal secara luas dengan sebutan 'gerbong maut'.
Saat ini, gerbong maut bisa dijumpai di area Stasiun Bondowoso, Jawa Timur.
Monumen gerbong maut tersimpan sebagai koleksi walaupun hanya sebagai replika.
Konon, salah satu dari tiga gerbong maut yang diklaim asli berada di Museum Brawijaya Malang.
Gerbong maut tersebut dulunya digunakan untuk mengangkut 100 orang pejuang Indonesia yang ditangkap paska Agresi Militer Belanda.
Baca juga: Prosedur Pembatalan Tiket Kereta Api Antarkota, Cek Syarat dan Ketentuannya
Pada 23 November 1947, Belanda berencana memindahkan para tawanan ke penjara Bubutan di Surabaya.
Hal itu dilakukan karena kapasitas penjara di Bondowoso sudah sangat penuh.
Tragedi terjadi pada salah satu tahap pemindahan, di mana gerbong yang digunakan sama sekali tidak memiliki ventilasi dan tertutup rapat.
Alhasil, sepanjang 16 jam perjalanan para tawanan berjuang untuk bertahan hidup.
Mereka tersiksa karena udara dalam gerbong menjadi pengap dan panas, serta tanpa diberikan makanan atau minuman.
Setibanya di Surabaya, dilaporkan sebanyak 46 orang meninggal karena dehidrasi dan kelaparan.
Sisanya ditemukan selamat dengan kondisi sakit dan pingsan.
Kini, gerbong maut diabadikan dalam sebuah monumen.
Monumen-monumen gerbong maut tersebut diharapkan bisa selalu lestari dan tidak hanya berakhir sebagai monumen saja.
Namun, monumen juga diharapkan menjadi pengingat generasi muda tentang perjuangan para pahlawan yang mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Baca juga: Mengenal Jembatan Cirahong, Jalur Kereta Api Unik Berusia 128 Tahun yang Punya Fungsi Ganda
Sejarah Monumen Purwa Aswa Purba, Ikon Stasiun Bandung yang Legendaris
Monumen Purwa Aswa Purba merupakan landmark ikonik yang berada di Stasiun Bandung.
Para penumpang yang keluar dari Stasiun Bandung sisi selatan, nantinya akan disambut Monumen Purwa Aswa Purba yang berdiri gagah.
Monumen berupa lokomotif ini ternyata memiliki sejarah panjang yang menarik untuk dibahas.
Melansir akun Instagram @kai121_, Purwa Aswa Purba memiliki 'Awal Kuda Kuno'.
Nama tersebut diambil dari sosok kuda besi hitam (lokomotif) yang pernah berdinas di lintas Rengasdengklok-Karawang-Wadas-Cikampek (Jawa Barat).
Kala itu, Purwa Aswa Purba jadi andalan masyarakat dalam bermobilitas untuk mengangkut barang dan penumpang.
Purwa Aswa Purba adalah jenis lokomotif TC.10 yang diproduksi oleh Hartman Chemnitz pada tahun 1920 dengan nomor abrik 4416.
Saat beroperasi di Indonesia, Staatsspoorwegen (SS) menomorinya dengan 508T dan di era Djawatan Kereta Api diubah menjadi TC.10.08.
Baca juga: Yuk Kenalan dengan KA Kertajaya, Kereta Api Penumpang dengan Rangkaian Terpanjang di Indonesia
Untuk melayani jalan rel dengan gauge 600 mm, SS mendatangkan lokomotif uap jenis ini secara bertahap.
Dimulai dengan 6 unit pada 1955, 4 unit pada 1920 dan 5 unit pada 1922, sehingga total berjumlah 15 unit.
Sebanyak 3 unit lokomotif TC10 dialokasikan untuk beroperasi di jalan rel dengan gauge 600 mm di Jawa Timur.
Sementara sisanya beroperasi di jalan rel dengan gauge 600 mm di Jawa Barat.
Lokomotif TC10 memiliki susunan roda 0-6-0T, dengan dua silinder berdimensi 240 mm x 340 mm dan roda berdiameter 675 mm.
Secara keseluruhan, lokomotif TC10 mempunyai berat mencapai 12,7 ton serta menggunakan bahan bakar kayu jati.
Lokomotif TC10 juga dilengkapi dengan kotak pasir (sand box).
Kota pasir adalah kotak yang diisi dengan pasir, digunakan untuk menyemportkan pasir ke jalan rel.
Tujuannya agar permukaan rel menjadi kering sehingga roda tidak mengalami slip.
Lokomotif ini beroperasi di jalan rel dengan gauge 600 mm.
Setelah jalur kereta Rengasdengklok-Karawang-Wadas-Cikampek non aktif pada 1979-an, lokomotif TC.10.08 pun purna tugas dan disimpan di Dipo Karawang sebelum akhirnya dibawa ke Bandung untuk dimonumenkan.
Monumen kemudian diresmikan pada 28 September 1992, bertepatan dengan ulang tahun ke-47 Perumka (nama KAI pada saat itu).
Posisi TC.10.08 diletakkna di atas sebuah turn table.
Selain di Stasiun Bandung, lokomotif TC.10.08 juga dapat ditemui sebagai monumen, antara lain di Taman Mini Indonesia Indah (TC.10.11) dan di dalam Balay Yasa Manggarai (TC.10.11).
Baca juga: Mengenal Lokomotif Pertama di Perkeretaapian Indonesia, Dijuluki Si Jengki
(TribunTravel.com/mym)
Baca selengkapnya soal artikel kereta api di sini.