Sejarah Masuknya Kopi di Indonesia, Belanda Bawa Benih Arabika ke Jawa
KOMPAS.com – Sejarah kopi di Indonesia tidak terlepas dari peran kolonialisme Belanda. Pada 1696, Belanda pertama kali membawa masuk benih kopi arabika untuk ditanam di pulau Jawa.
Baca juga: Hari Kopi Sedunia, Ketahui Sejarah Munculnya Kopi di Dunia
Belanda berusaha untuk membudidayakan benih kopi tersebut di daerah Kedawung, perkebunan dekat Batavia.
Hal tersebut tercantum pada buku Kopi: Aroma, Rasa, Cerita (2018) karya Yandhie Arvian Et Al terbitan Pusat Data dan Analisis Tempo Publishers.
Dalam buku tersebut menurut Prawoto Indarto, peneliti yang menekuni sejarah kopi juga menulis buku The Road to Java Coffee, sayangnya usaha Belanda tersebut gagal karena tanaman kopi rusak akibat gempa bumi dan banjir.
Sekitar 15 tahun kemudian, Bupati Cianjur Aria Wira Tanu mengirimkan sekitar empat kuintal kopi ke Amsterdam. Saat itu ekspor kopi berhasil memecahkan rekor harga pada lelang di sana.
Kopi Jawa populer di Eropa
Ekspor kopi yang dilakukan pemerintah Belanda tinggi karena banyak permintaan dari Eropa.
Hal tersebut tertera pada buku "Kopi: Sejarah dan Tradisi Minum Kopi, Cara Benar Mengekstrak dan Menikmati Kopi, Manfaat dan Risiko Kopi bagi Kesehatan" karya Murdijati Gardjito dan Dimas Rahadian A. M. terbitan PT Kanisius.
Sebelumnya Belanda telah melakukan perluasan penanaman kopi secara besar-besaran sejak 1696 dengan sistem tanam paksa.
Kopi dianggap jadi komoditas menguntungkan, daerah penanamannya semakin diperluas.
Daerah yang dimaksud Sulawesi pada 1750, dataran tinggi Sumatera Utara dekat Danau Toba pada 1888, dan Gayo dekat danau laut tawar pada 1924.
Baca juga: Hari Kopi Sedunia, Berikut 6 Kopi Indonesia yang Mendunia
Dalam buku Kopi: Aroma, Rasa Cerita, ekspor kopi asal Jawa pada 1726 sebanyak 2.145 ton membanjiri Eropa.
Jumlahnya yang sangat banyak berhasil menggeser kopi Mocha asal Yaman yang kala itu jadi penguasa pasar. Sejak itu, kopi asal Jawa populer dengan sebutan Java Coffee.
Popularitas kopi Jawa di ranah Eropa sebelum itu sudah begitu tinggi.
Hal itu bermula 12 tahun sebelumnya. Kala itu Raja Louis XIV meminta Wali Kota Amsterdam Nicholas Witsen untuk mengirimkan benih Coffea arabica var. arabica yang disebut juga Coffea arabica L. var. typica atau tipika.
Raja Louis mendengar berita soal tingginya harga kopi tersebut dalam lelang di Amsterdam. Ia ingin menjadikan tanaman kopi tersebut jadi salah satu koleksi kebun raya Jardin des Plantes di Paris.
Benih kopi pemberian Nicholas Witsen ini berasal dari bantaran Ciliwung, seperti Kampung Melayu dan Meester Cornelis, nama lama Jatinegara. Kawasan ini juga jadi wilayah awal perkebunan kopi di Jawa, yang bibit kopinya dibawa dari Sri Lanka.
Perkebunan kopi Indonesia makin luas
Selanjutnya pada 1706, tanaman kopi berhasil tumbuh dengan baik di beberapa wilayah di Jawa.
Untuk meneliti kualitasnya, Belanda mengirimkan benih kopi dari Ciliwung ke kebun botani di Amsterdam. Hasilnya, kopi tersebut berkualitas bagus.
Sementara benih kopi yang ada di Jardin des Plantes di Paris, dibawa oleh perwira angkatan laut Perancis ke Martinique, koloni Perancis di Karibia. Semakin tersebarlah kopi Jawa tersebut di dunia.
Perkebunan kopi di Indonesia pun semakin meluas. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Joan van Hoorn mulai mendistribusikan bibit kopi ke Batavia, Cirebon, kawasan Priangan, dan pesisir utara Jawa.
Tak sampai di situ, pada awal 1720-an, Belanda juga mengirimkan benih kopi Jawa ke Suriname.
Mereka ingin mengembangkan perkebunannya di sana. Dari kedua wilayah tersebut, benih kopi Jawa semakin tersebar ke Amerika Tengah dan Amerika Selatan.
Jejak kopi Jawa di Amerika Latin, menurut Prawoto, masih bisa dilihat hingga sekarang. Terdapat tipika yang sama dengan yang berasal dari Jawa masa lampau di kebun kopi kawasan Amerika Latin.
Kopi Jawa terjangkit penyakit karat daun
Namun popularitas Java Coffee mulai surut pada 1880.
Kala itu tanaman kopi diserang jamur Hemileia vastatrix atau disebut penyakit karat daun. Pasalnya, jamur tersebut memakan daun membuatnya seperti berkarat hingga akhirnya tanaman kopi pun mati.
Karena serangan jamur tersebut, Jawa kehilangan potensi ekspor sekitar 120.000 ton kopi dan menyebabkan pasar kopi dunia panik. Penyakit karat daun ini pertama kali ditemukan di Sri Lanka pada 1869.
Penyakit ini terutama memusnahkan kopi arabika dari Sri Lanka hingga Timor termasuk Indonesia yang ditanam di bawah ketinggi 1 km dpl. Sejak itu, Brasil dan Kolombia mulai menjadi eksportir kopi arabika terbesar hingga saat ini.
Belanda berusaha untuk menanggulanginya dengan menanam varian liberika untuk menggantikan tipika Jawa, tapi gagal.
Sampai akhirnya pada 1900, perusahaan perkebunan Soember Agoeng di Jawa Timur membeli 150 benih kopi varian robusta dari Pembibitan Hortikultura Kolonial di Brussels, Belgia.
Pembibitan Hortikultura Kolonial yang mengembangkan benih kopi robusta. Robusta sendiri merupakan jenis asal Kongo.
Ternyata, tanaman kopi robusta lebih tahan karat daun dan bisa selamat dari hama tersebut. Bahkan konon katanya nama robusta sendiri berasal dari kata ‘robust’ yang berarti kuat.
Sejak itu perlahan-lahan kopi robusta mulai menggantikan arabika di Indonesia hingga kini. Indonesia berhasil menjadi salah satu produsen kopi robusta terbesar di dunia sampai sekarang.
Secara perlahan popularitas kopi arabika juga mulai merangsek naik. Terutama dengan adanya budaya minum kopi yang erat di masyarakat Indonesia. Ditambah semakin banyaknya kedai kopi bertebaran hingga ke pelosok.
Baca juga: 8 Kedai Kopi Legendaris di Jakarta, Kopi Es Tak Kie sampai Kwang Koan Kopi Johny
Dalam buku ‘Kopi’, disebut bahwa saat ini tanaman kopi arabika bisa dengan mudah ditemui di beberapa daerah penghasil kopi. Daerah tersebut seperti dataran tinggi Ijen, Tanah Tinggi Toraja, pegunungan Bukit Barisan, Mandailing, Lintong, Sidikalang, dan Gayo.
Kopi arabika tersebut diproduksi khusus menjadi kopi specialty yang punya nilai ekonomis sangat tinggi.